True Selves
Sunday, June 23 | 8 response(s)
Tokyo, 24 Juni 2012...
"Ittekimasu,"
dan gadis itu pun melangkahkan kakinya keluar, menantang dunia yang selalu terlihat kelabu baginya. Itu dahulu. Coba lihat sekarang, sebuah garis lengkung terlukis di wajah bulatnya. Yah, itu karena dia datang. Yang mengajarkan gadis itu sesuatu yang berharga.
- - - TRUE SELVES - - -
~ Chapter 1 - Met in the Box ~ -
- - © 2013. Kokacream~ - -
- - - - - - - -
Nana POV
Liburan musim panas baru saja selesai . Aktivitas di sekolah pun dimulai sejak kemarin. Di sekolah maupun di rumah sama. Mungkin diriku yang sebelumnya akan mengatakan kalimat itu. Tapi tidak untuk kali ini. Ada kejutan musim panas untukku. Hadiah yang sangat kunanti-nantikan selama ini. Yang bisa merubah pola pikirku dalam sekejap.
(flashback) "Bagaimana dengan liburan musim panas kalian??" tanya seorang perempuan muda dengan wajah yang berseri-seri. Guru yang cantik, baik, dan menyenangkan. Jika kau mengatakan kalimat itu kepada setiap warga sekolah ini, aku pastikan mereka akan mengantarmu ke orang yang sama. Ya, perempuan yang sekarang sedang berdiri di depan kelasku. Namanya Iwashiro Sakura, guru seni budaya sekaligus wali kelasku. Oke, perkenalan untuk dirinya terlalu panjang menurutku. Setiap anak menjawabnya dengan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang senang, bosan, biasa, mengeluh, dan yang lainnya. Sakura-sensei hanya tersenyum menanggapinya. "Hai'. Tenang semuanya. Hari ini ada berita yang menggembirakan. Kita kedatangan teman baru!" seru Sakura-sensei bersemangat. Semua anak pun menjadi heboh, meributkan seperti apa si anak baru itu. Yah.. tidak semuanya sih. Aku mungkin adalah pengecualiannya. Entah kenapa, bergaul disini terasa sulit bagiku. Mereka semua bersikap berbeda denganku. Alhasil, aku merasa tersisih. Kesimpulannya, aku tidak mempunyai teman. Jujur, rasanya tidak nyaman. "Hai', hai', Minna-san! Tolong tenang," ucap Sakura-sensei sambil menepuk-nepuk tangannya. Semuanya pun diam. Sakura-sensei berjalan ke arah pintu kelas dan berhenti tepat disana. Dari posisiku, terlihat bahwa dia sedang bercakap-cakap dengan seseorang diluar sana. Aku tidak bisa melihat orang itu karena tubuhnya terhalang oleh tembok. Tapi, aku yakin dialah si anak baru. Tidak lama setelah itu, Sakura-sensei berjalan ke depan kelas diikuti oleh seorang anak yang sebaya denganku. Seragamnya berwarna hijau putih, kontras dengan kami yang mengenakan seragam biru putih. Bingo. "Dia Sawaguchi Mokane-san dari Fukuoka. Sawaguchi-san, silakan perkenalkan dirimu," perintah Sakura-sensei. Sawaguchi-san menganggukkan kepalanya, kemudian maju satu langkah. "H-Hajimemashite! Watashi wa Sawaguchi Mokane desu. Y-Yoroshiku onegaishimasu," dan akhirnya pun dia membungkukkan badannya. "Yoroshiku onegaishimasu," koor anak lainnya. "Apakah ada pertanyaan?" tanya Sakura-sensei sambil memerhatikan sekelilingnya. "Hai'!" "Dozo, Takeda-san" "Kenapa Sawaguchi-san pindah saat.. eem.. tengah semester?" tanya Takeda-san hati-hati. "Heem.. Kenapa ya? Pekerjaan ayahku tidak bisa ditebak sih. Kami sering pindah-pindah tempat, tergantung dengan kondisi pekerjaannya," jawab Sawaguchi-san polos. "Eh? Emang pekerjaan ayahmu apa??" tanya Tanabe-san antusias. "Heem.. kalo itu sih......... Hi-mit-su! Hehe..~" jawab Sawaguchi-san sambil mengerlingkan sebelah matanya. Ini beneran anak baru? Anak-anak yang lainnya pun terdiam. Tapi tak lama kemudian, tawa mulai menggema diseluruh sudut ruangan. Yah, hanya tidak menyangka saja anak yang tadinya terlihat pemalu menjadi....... genit? Yah, genit dalam arti yang baik sih.. "Yokatta~ Untung bukan anak yang aneh aneh," "Ya. Dan dia terlihat cukup menyenangkan," Itulah kesan pertama yang diucapkan oleh dua anak yang berada di depanku. Aku setuju dengan mereka, dan kurasa semua anak setuju dengan pernyataan itu. "Nah, Sawaguchi-san. Kamu bisa duduk di tempatmu, di sebelah Ayako-san. Ayako-san, angkat tanganmu," kata Sakura-sensei lembut. Ayako-san mengangkat tangannya, dan Sawaguchi-san pun berjalan ke tempatnya. "Baiklah, sekarang kita mulai pelajarannya. Silakan buka halaman..."
○○○
"Tadaima," kataku pelan sambil membuka pintu apartemen 302.
"Okaerinasai, Nanako,"
Jawaban yang kuharapkan. Tapi, dunia terkadang memang kejam. Lihatlah sekarang. Apakah ada yang membalas salamku? Tidak ada. Jelas, karena memang tidak ada siapapun disini. Yah, keadaannya akan sama jika aku tidak mengucapkan salam.
Aku berjalan ke kamarku dan melempar diriku ke kasur yang cukup besar. Menutup mataku, berusaha melepaskan rasa lelah yang kurasakan. Secara fisik mungkin tidak, tapi secara batin pasti.
Aku menatap langit-langit kamarku, berpikir. Mengapa aku tidak punya teman? Apakah aku anak yang buruk? Bahkan anak yang buruk sekalipun mempunyai teman. Saa, apakah aku sebegitu buruknya? Lebih buruk dari yang buruk? Atau yang terburuk? Yah, aku tidak peduli tentang itu. Aku hanya mau teman. Itu saja, untuk saat ini. Nee, semua orang tidak pernah bisa hidup sendiri kan? Semua orang tahu itu kan? Tentu saja, itu hal yang sangat dasar. Hal itu juga berlaku padaku. Tidak bisa menyalurkan rasa senang, tidak bisa menceritakan kesedihan, tidak bisa melupakan kebosanan. Hei! Aku masih punya hati. Aku tidak bisa menampungnya terus di dalam hatiku. Hatiku terlalu kecil. Aku butuh hati lain. Hati milik seseorang. Siapapun, yang bisa mengerti apa yang kurasakan. Kumohon.
Aliran hangat terbentuk di wajahku. Berasal dari ujung manik mataku, kemudian bertambah panjang, panjang, dan panjang. Kemudian bermuara di ujung daguku dan membentuk hujan kecil yang cukup untuk membasahi seperbagian kasurku. Aku mengusapnya. Yah, tidak baik untuk selalu menangis. Masalah ada untuk diselesaikan, bukan dipikirkan.
Kalimat itu yang kupikirkan jika aku sudah dalam kondisi seperti ini. Kata-kata penyemangat yang mulai bertemu dengan titik jenuhnya.
Normal POV
Dia, si penyendiri itu, keluar dari rumahnya. Ekspresinya datar, juga terlihat... depresi. Yah, teman itu memang sangat berpengaruh di kehidupan seseorang kan?
"Ah, Nana-chan," panggil wanita tua yang sedang menyapu halaman rumahnya. Anak itu pun menengok ke arahnya. Senyum tipis terkembang di wajahnya yang cantik.
"Konbanwa, Obaa-san," jawabnya lesu.
"Ara, kenapa mukamu kusut begitu?" tanya Obaa-san itu khawatir. Anak itu hanya tertawa garing. Obaa-san itu pun diam, menatap dalam mata anak itu. Tak lama kemudian, ia pun menghela napas singkat. Sepertinya dia mengenal Nanako sangat dekat.
"Kiite, Nana-chan. Kau tidak perlu mencari seseorang yang berharga untukmu. Itu hanya membuang-buang waktumu saja. Sebenarnya, dia berada di dekat kita. Tapi, setan mengelabui kita. Membuatnya terasa jauh, bahkan tidak nampak sama sekali. Tidak ada yang mudah di dunia ini bukan? Karena itu, yang harus kau lakukan adalah merasakan keberadaan orang itu. Dia.. ada. Dan menunggu untuk diakui,"
Obaa-san itu mengakhiri petuahnya dengan senyuman yang tulus. Nanako sedikit tersentak mendengarnya. Obaa-san keren, mungkin itu yang berada di pikirannya. Tak lama kemudian, gadis itu tersenyum tulus. Ekspresinya berubah total. Dia pun mengangkat tangannya ke atas, lalu menggoyangkannya ke kanan dan kiri.
"Arigatou, Obaa-san. Ittekimasu,"
Obaa-san hanya menatapnya sambil tersenyum, lalu membalas lambaian tangannya.
"Itterashai," gumamnya kecil. "Masih banyak hal yang belum kau ketahui. Berjuanglah," lanjutnya sambil menatap punggung anak itu. Kemudian, dia masuk ke dalam rumahnya.
○○○
Nana POV
"Hah.. tsukaretta," keluhku pelan sambil mengistirahatkan diriku di sebuah kursi coklat kayu. Aku meneguk soft drink yang kubeli sebelum sampai di taman ini. Sambil meneguknya, aku memikirkan kata-kata Obaa-san sebelumnya. Apakah benar orang itu disini? Tanpa aku harus mencarinya lagi?
"Ngeong..."
Seekor kucing berbulu coklat pun berada di hadapanku, kemudian melompat ke pangkuanku. Agak kaget juga..
"Hei, siapa kamu?" Oke, orang-orang mungkin akan menyebutku gila kalau melihat ini. Untungnya jarang ada orang yang melewati tempat ini.
Kucing itu tidak menjawab, dia hanya menggeliat manja di pangkuanku. Gemerincing kecil yang dihasilkan lonceng di kalung birunya pun terdengar. Punya seseorang ternyata...
"Tenang saja, aku akan mengantarmu pulang," ucapku sambil tersenyum kecil.
Baru saja aku ingin berdiri, teriakan seseorang tertangkap oleh telingaku.
"...aaaa"
"Nokaaaaa,"
Mungkin seperti itu bunyinya. Entahlah, aku tidak terlalu mendengarnya secara jelas. Samar-samar, siluet seseorang terbentuk ditengah pohon-pohon rindang yang berada di luar taman. Semakin lama, siluet itu semakin jelas dan jelas, dan akhirnya membentuk figur anak perempuan dengan rambut coklatnya yang dikuncir kuda. Sosok itu semakin mendekat, kemudian berhenti tepat di depanku. Anak kucing yang berada di pangkuanku pun turun dan melompat ke pundak anak itu.
"Mottoku, Noka! Jangan suka lari sembarangan gitu dong! Aku kan tidak bisa menyeimbangimu," ucap anak perempuan itu sambil mengusap gemas bulu kucing itu. Kucing itu hanya mengeong dan mengerang. Anak perempuan itu menatapku.
"Terima kasih udah nemuin Noka. Pasti kamu kena banyak cakaran ya? Duh, maaf ya kalo dia bandel," ucap anak itu kemudian sambil membungkukkan badannya. Aduh, aku jadi merasa canggung.
"Eh? I-iie. Dia kok yang menghampiriku kesini. Hehe. Dan aku sama sekali tidak dicakar olehnya kok, tenang saja hehe.." tawaku kikuk. Anak itu pun terlihat terkejut.
"Honto?!" tanyanya antusias.
"Ho... nto," jawabku bingung.
"Kok bisa ya? Padahal selama ini, dia hanya bersikap begitu sama aku saja. Sama keluargaku aja enggak. Masa iya sih sama kamu yang belom dikenalnya sama sekali udah bersikap baik begitu?" ucapnya bingung. Aku yang mendengarnya lebih bingung lagi.
"Oh, aku tau! Kalo gitu dia suka sama kamu! Bener, Noka?" tanya anak itu ke kucing yang berada di gendongannya. Kucing itu hanya mengeong. "Tuh kan bener!" lanjutnya girang. Aku menaikkan sebelah alisku.
"Gimana mungkin kamu ngartiin itu sebagai 'iya'? Mungkin aja itu artinya engga," komentarku datar. Dia menatapku tajam.
"Aku dan dia udah bersama sejak kelas enam loh! Kelas enam!" bantahnya sebal. Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku? Anak yang aneh.
Aku mengacuhkan anak itu. Kucing yang berada di gendongannya lebih menarik perhatianku. Aku memainkan tangan kucing tersebut. Anak itu pun takjub melihatku, seperti melihat orang yang sedang memainkan tangan singa liar.
"Hee.. Beneran diem ternyata," gumamnya.
"Mungkin karena aku suka kucing. Mereka memiliki insting bukan?" kataku asal. Anak itu terkejut.
"Eh?! Kamu suka kucing?!" pekiknya bersemangat. Over sih menurutku. Dan lagi, dia terkejut karena bagian yang sangat normal seperti itu?
"I.. ya," jawabku seadanya.
"Berarti kamu juga punya? Siapa namanya? Jenis apa? Kapan kamu belinya? Makanan kesuka-"
"Aku ga punya," potongku singkat. Anak itu menaikkan alisnya.
"Eh... Kok gitu?" tanyanya heran.
"Yah.. di apartemenku enggak boleh melihara hewan. Apa boleh buat," jawabku singkat sambil tetap fokus dengan kucing yang berada di hadapanku. Aah.. Dia manis sekalii~
"Kalo gitu, mau main dengan kucingku?" tawarnya tiba-tiba. Aku menolehnya dengan antusias.
"Beneran?!" tanyaku memastikan.
"Em! Tentu!" jawabnya mantap. Aku menatapnya dengan pandangan yang berbinar-binar.
"Arigato!" ucapku senang sambil membungkukkan badanku berkali-kali. Hee.. Dia anak yang sangat BAIK, kau tahu?
Anak itu hanya tertawa melihatku.
"Oke, setiap hari senin sore di taman ini ya?" tanyanya meminta kepastianku. Aku hanya menganggukkan kepalaku senang. Anak itu duduk disebelahku.
"Ne, ne. Kamu tau ga kalo kucing jenis serval baru aja ditemuin di Nagasaki?" tanyanya antusias.
"Ah, aku liat beritanya di tv! Katanya-"
Dan obrolan kami berlanjut terus menerus. Ini bagus. Dia memiliki kesukaan yang sama denganku. Akan lebih gampang untuk membuka percakapan dengannya. Hyaaa.. menyenangkan sekali jika ada orang yang mengerti arah pembicaraanmu~.
"Nah! Terus tuh ya-" Kring, kring
Telepon genggam anak itu pun berbunyi. Dia membuka handphone flipnya itu, melihat nama yang tertera di layarnya.
"Ah, dari rumah. Sebentar ya," izinnya sambil mengangkat telepon. Aku mengangguk.
"Moshi-mosh-"
"WOI, ONEE-CHAN! CEPET PULANG WOI! KITA UDAH MAU BERANGKAT NIH! KALO ENGGA-"
... speakernya lupa dimatikan ya?
"Ah! Ssh, ssh!" "Gomen ne," ucapnya sambil menatapku kikuk. Aku hanya mengangguk pelan. Setelah itu, tidak ada suara yang terdengar dari teleponnya lagi. Speakernya sudah dimatikan mungkin.
"He?? Chotto, Daik- ah, Okaa-san? Hem, sokka. Hai', hai'. Wakatteru. Em. Sore jaa," dan kemudian dia mematikan telepon genggamnya. Dia menatapku dengan tatapan panik. Ada apa dengannya? "Gomen, aku udah harus pulang sekarang. Entar kita sambung minggu depan ya! Dadaaah!" katanya terburu-buru, kemudian dia berlari keluar taman. "E-eh? Chotto! Namae wa?" (flashback) Yah, kejadian yang tidak terduga. Rasanya sedikit menyesal mengingat aku tidak sempat mengetahui namanya. Pokoknya, aku harus menanyakan namanya saat kami bertemu kembali. Rasanya tidak sabar menunggu hari Senin~. Tidak terasa, aku sudah sampai di depan gerbang sekolahku. Aku pun memasuki bangunan besar itu, melewati kerumunan orang yang belum tentu merasakan kehadiranku. Kubuka pintu kelasku, dan... yaah.. beberapa anak melihat ke arahku, lalu tersenyum singkat. Aku menganggukkan kepala dan berjalan ke tempatku, menaruh tasku dan membaca novel yang kubawa dari rumah. Suara pintu yang berdecit terdengar beberapa kali, namun aku mengabaikannya. Tidak semuanya, karena di decitan yang sekian kalinya... "Loh?! Kamu kan...?!" Seseorang menepuk bahuku. Aku mengangkat kepalaku dan... terkejut. Mungkin aku tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui namanya. "Kamu kan...?!" kataku terkejut. Anak itu melihatku sambil tersenyum lebar. "Yang waktu itu di taman kan?! Yang neko-holic kan?! Ya ampun, seneng banget bisa sekelas sama kamu!" .. ya, anak yang bertemu denganku di taman kemarin. Bagaimana bisa aku tidak mengingat wajah anak baru itu? Anak itu dengan si anak baru adalah orang yang sama! Pantas wajahnya familiar.. "Maaf, aku ga sadar kalo kamu itu anak baru hehe," kataku canggung. "Iya, ga papa kok. Maaf juga ga inget kalo kamu itu salah satu dari anak di kelasku. Aku susah menghafal wajah orang sih, hehe," balasnya sambil tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa. "Tanakawa, aku boleh duduk disini dulu kan?" tanya Sawaguchi-san cukup keras. Seorang anak perempuan berambut hitam panjang pun menganggukkan kepalanya. "Sankyuu," ucap Sawaguchi-san singkat. Dia pun duduk disebelahku. "Ne, ne. Ayo lanjutin ngobrol ngobrol kita yang kemaren diganggu sama adekku," ajaknya bersemangat. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Yasashii na... Tidak lama kemudian, bel masuk pun berbunyi. "Yah.. dadah.. uum.." "Seiburi Nanako," kataku singkat. "Oke. Dadah, Nana-chan," ucap Sawaguchi-san sambil tersenyum kecil. Nana-chan? Langsung panggil nama kecilku? "Dadah, uum... Moka," balasku ragu-ragu. Dia pun tersenyum senang sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan semangat, kemudian kembali ke tempatnya. Tidak lama kemudian, Mata-sensei pun masuk dan memulai pelajarannya. Haah.. Sejarah cukup membosankan bagiku.. "Nah, materi ini akan keluar di ujian minggu depan," ucap Mata-sensei sambil terus menulis di papan tulis yang tigaperempat bagiannya sudah ditulis oleh Mata-sensei. Egh! Terlalu banyak! Aku pun mengambil buku catatanku dan pulpen.. eem.. dimana ya? Aku mencari tempat pensilku di tas dan hasilnya nihil. Jangan-jangan.. ketinggalan? "Aduh, gimana nulisnya ini," gumamku pelan. "Mau pinjam punyaku?" ucap seseorang kepadaku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Dia, orang yang berada disebelahku, menyodorkan sebuah pulpen kepadaku. Ternyata dia memerhatikanku dari tadi. "Hai'. Arigato," ucapku singkat. Sambil menulis, dia berbicara denganku. "Ne, kamu tau... namaku?" tanyanya ragu-ragu. "Tentu saja. Tanakawa Haruka kan?" kataku mantap. Dia pun menatapku dengan pandangan yang... err.. sulit dijelaskan. "Hai'! Aku kira kamu ga tau namaku, Nana-san," responnya bahagia. Sebegitunya kah? "Harusnya aku yang ngomong begitu," bantahku. Dia hanya tersenyum. "Kan kita soulmate semeja," ucapnya senang. "Haha.. sama denganmu," kataku menyetujuinya. Kami pun terkikik pelan. "EKHEM!" tegur Mata-sensei dengan dehemannya yang khas. Kami berdua pun diam dan fokus menulis materi yang ditulis oleh Mata-sensei. Tanakawa Haruka, Dia baik juga...
○○○
Satu bulan berlalu. Aku merasa kalau aku jadi lebih terbuka di kelas. Aku sudah bisa menyapa teman-teman sekelasku dengan normal, bersikap dengan normal, dan yah.. berbicara dengan normal. Mereka adalah orang-orang yang baik menurutku. Yah, bodoh sekali dulu aku menjauhkan diriku dari mereka. Harusnya aku mengenal mereka dulu, baru menilai mereka.
Teman terdekatku pastinya Moka. Aku merasa kalau aku bisa menjadi diriku saat bersamanya. Selalu tertawa. Benar-benar lepas. Tapi hubungan seseorang tidak hanya diisi oleh rintik-rintik hujan yang membawa sejuta kebahagiaan. Kadang badai sesekali menghampiri. Hanya rembesan kecil pada awalnya, tapi kalau dibiarkan akan menjadi sesuatu yang mengerikan. Sama seperti saat ini...
"Ohayo, Nana-chan!" sapa Moka sambil bergelayutan di lenganku. Senyum lebarnya terpampang jelas di wajahnya.
"Ohayo," balasku sambil tersenyum kecil.
"Ohayo, Moka! Nanako!" sapa seseorang sambil menepuk pundak Moka cukup keras. Yang ditepuk hanya meringis pelan.
"Ittai.. Sakit tau, Ayame!" protes Moka sebal. Ayame hanya tertawa melihatnya.
"Aduh, marah-marah melulu.. Contoh Nanako sedikit dong, kalem," ledek Ayame. Moka tambah cemberut.
"Ngaca dong woi! Kamu juga marah-marah melulu tau," balas Moka ga mau kalah.
"Yang penting mukaku ga terlihat tua," balas Ayame lagi sambil mengelus-elus wajahnya.
"Eh, tunggu tunggu! Maksudnya apaan tuh?!" protes Moka cukup keras. Ayame hanya tertawa puas sambil mengacak-acak rambut Moka, kemudian kabur.
"Ja nee, Nanako, Obaa-san," Moka tertegun.
"Awas aja Ayame! Jangan minta makananku lagii!!" teriak Moka keras.
Aku tertawa kecil. Melihat situasi seperti itu memang membuatku terhibur. Moka terlihat seperti itu jika bersama Ayame dan lainnya. Tapi... Dia tidak pernah berlaku seperti itu denganku. Seperti yang aku bilang tadi. Aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya saat bersama Moka. Tapi itu aku. Hanya Aku. Bagaimana dengannya? Apakah Moka masih belum bisa menjadi dirinya sendiri saat bersamaku?
--Tersanjung, dan bertengkar. Kemudian mereka akan menemukan arti dari pertemuan mereka--
Author Note ~
Chapter 1 selesai~ Ini baru mau dimulai ya konfliknya. Penasaran? Tunggu chapter 2.. Mwehehehe xD
|
|